Text
Hidup Dengan Kekerasan: Catatan Perempuan Buruh Migran NTB
Adalah sebuah ironi, di suatu negara yang dibangun atas dasar nilai demokrasi, humanisme dan keadilan, kekerasan justru menjadi bagian yang tak terpisahkan. Kekerasan telah menjadi wacana global dan memasuki hampir setiap ruang kehidupan : politik, budaya, agama, ideologi, dan sosial karena budaya patriarki yang masih kental disetiap lini. Dan perempuanlah yang kebanyakan menjadi korban dari jenis-jenis kekerasan tersebut, maka lahirlah satu jenis kekerasan baru yang disebut kekerasan berbasis gender.
Kekerasan terhadap- perempuan lahir karena adanya kekuasaan patriarki yang diabsahkan secara hukum. Kekuasaan ini memiliki otoritas dalam menggunakan kekuatannya untuk melakukan kekerasan terhadap komunitas yang berada di bawah kekuasaannya. Pada giliran berikutnya, kekerasan terhadap perempuan memasuki hampir setiap ranah kehidupan sosial, baik domestik maupun publik, termasuk kekerasan di tempat kerja.
Fenomena kekerasan terhadap buruh migran Indonesia perempuan tidak hanya merupakan potret kesedihan perempuan, tapi juga potret kegagalan negara dalam melindungi warga negaranya. Ironisnya fenomena ini mempunyai dampak yang tidak hanya dapat dirasakan oleh perempuan itu sendiri secara individu, tetapi berakibat pula pada keluarganya bahkan generasi berikutnya yang akan lahir dari rahimnya.
Kekerasan yahg dialami buruh migran NTB perempuan sangat perlu untuk direkam dan kemudian disajikan dalam sebuah buku sebagai referensi bahwa kekerasan itu benar-benar sebuah realitas. Apa yang dialami Dewi Khaerani dan kawan-kawannya yang didiskripsikan dalam buku ini tidak ada maksud untuk menakut-nakuti pembaca, tapi untuk memaparkan problem riil buruh migran Indonesia perempuan.
Kekerasan yang sering dialami buruh migran Indonesia perempuan pada tataran ideologis akan membentuk sebuah patronase politik migrasi, dimana buruh migran Indonesia perempuan rentan terhadap tindak kekerasan. Kesadaran kritis untuk membongkar mata rantai ini tentu saja akan bertemu dengan pihakĀpihak yang secara sadar sebenarnya telah menciptakan realitas itu. Dan satu-satunya pihak yang telah melembagakan ideologi yang bias gender itu adalah negara. Ini artinya negaralah pelaku kekerasan itu, melalui regulasi yang dilembagakannya dalam sebuah produk hukum.
Regulasi pemerintah tentang perlindungan buruh migran belum mempunyai gender-sensitive dan gender-responsibility. Meski wacana tentang itu telah lama bergulir dalam forum-forum diskusi dan pemberitaan media, kekerasan akan tetap langgeng dan terus berpentas dipanggungnya karena negara (Indonesia) memang tidak mempunyai tanggung jawab yang cukup tinggi terhadap realitas ini.
Meski deklarasi universal tentang hak asasi manusia telah diratifikasi dan diundangkan dalam sebuah aturan nasional, pemerintah belum cukup konsisten untuk mengartikulasikannya dalam kehidupan ketatanegaraan. Convention on the Ellimination of All Forms of Discrimination Against Women yang nota bene mengakomodasi hak perempuan di bidang ekonomi, belum cukup untuk dijadikan jaminan bahwa buruh migran Indonesia perempuan terbebaskan dari tindakan kekerasan selama bekerja. Keamanan dan kenyamanan selama bekerja belum bisa dirasakan oleh buruh migran Indonesia perempuan, karena hantu kekerasan siap menerkam setiap saat.
Menyadari hal itu, maka instrumen perlindungan terhadap buruh migran Indonesia yang mempunyai perspektif gender merupakan sebuah urgensi yang tidak bisa ditawar lagi. Fenomena kekerasan yang dialami buruh migran Indonesia perempuan sudah seharusnya membuka kesadaran negara untuk segera memperbaiki kinerjanya dengan membuat kebijakan yang berbasis keadilan baik pada tataran lokal, nasional mapun global.
0100 | My Library | Available |
No other version available